Bab 589

Pria yang biasanya sangat sabar ketika menghadapinya itu agak sedikit berbeda, dia terlihat tidak betah

dan terus mendesaknya, “Itu makam orang lain, nggak ada yang menarik. Ayo kita pergi.”

Selena berpikir bahwa sebenarnya tidak baik untuk berkata seperti itu. Namun, entah mengapa, dia tidak

bisa melepaskan pandangannya dari makam itu.

“Wah, keren banget! Kalau bukan karena nama belakangnya Ferdiansyah, aku kayaknya bakal ngira dia

itu saudaranya keluarga Irwin.”

Selena mengucapkan nama itu berulang kali, “Kok, namanya agak familiar, ya? Memangnya aku pernah

kenal sama dia?”

Makam ini diperbaiki kembali dengan nama Kezia Ferdiansyah untuk menegaskan kembali bahwa Lanny tidak mati. Semua informasi telah diubah menjadi atas nama Kezia. Harvey tidak menyangka jika

Selena sangat bersikeras untuk mengingat–ingat nama itu.

Harvey menjawab dengan tenang. “Nggak, kamu nggak kenal,”

Selena melirik nisan itu beberapa kali sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya, “Mungkin pikiranku doang kali, ya. Memang, sih, banyak banget orang di dunia ini yang mirip satu sama lain. Udah

ah, yuk, kita pulang.”

Harvey mengambil sebuah mantel dan memakaikan kepadanya dengan penuh kasih sayang, “Iya, sudah mulai turun salju lagi, nih. Habis ini kita langsung pulang. ya.”

“Oke.”

mengikuti Harvey pergi, tetapi setelah beberapa langkah, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak

berkilauan. Ketika angin bertiup, salju dan bunga

lagi lihat

memalingkan pandangannya, mengabaikan

dalam hatinya.

leluhur, Selena mengusulkan untuk

yang mereka kunjungi sebelumnya. Kemudian, Harvey langsung menyuruh

untuk memesan

menikmati waktu bersama Harvey, mungkin karena

bersamanya seperti ini. Selena bergandengan tangan

jalan di taman.

mereka berdua memang terlihat sangat memesona, dan di mana pun mereka pergi, mereka

perhatian orang–orang di sekitar mereka.

tahu, “Kayaknya waktu itu aku lihat ada

sekarang nggak ada?”

yang sama seperti sekitarnya. Harvey tidak menyangka kalau ternyata Selena masih mengingat lokasi pohon

dengan jelas.

tanpa berubah ekspresinya, “Mungkin gara–gara ngalangin pemandangan,

ditebang.”

sebesar itu

ditebang.

takdirnya sendiri, udah, nggak usah dipikirin.”

teh dan kursi kayu yang

lengkap, tetapi mengapa tiba–tiba ada beberapa barang

tambahan?

agar bisa merasakan suasana baru. Saat itu, dia tidak terlalu memikirkannya, hanya mengagumi dan bertanya- tanya seberapa besar ukuran pohon yang ditebang untuk

meja teh yang ada di rumah dibuat dari

lembut, ekspresinya tetap terlihat tenang. “Hei, yang benar saja, masa aku

menatap sosok pria yang gagah berani di tengah badai salju, wajahnya yang tampan dan anggun

The Novel will be updated daily. Come back and continue reading tomorrow, everyone!

Comments ()

0/255