BAB 8 I Dua Garis Biru
 

Di supermarket Via membeli beberapa kebutuhan dapur. Meski pun Sean tidak ada, tetapi kecintaan Via terhadap memasak tidak menghentikannya untuk membuat menu makanan yang dia suka. Ketika berada di area sea food, tiba-tiba saja Via merasa mual hingga dia menghindar dari sana. Bahkan Via juga mual begitu mencium bau daging, membuatnya refleks menjauh ke area minuman.

Dalam kepala Via menghitung waktu menstruasinya, untuk sesaat dia merasa tubuhnya tegang karena ada yang janggal pada siklus bulanan yang tidak dia sadari. Via mengambil lima test pack yang berjajar di rak dan memutuskan cepat-cepat keluar dari supermarket, namun langkahnya terhenti ketika matanya menangkap tabloid yang terpampang wajah Sean sebagai Headline utama.

Tanpa sadar Via mendekati tabloid tersebut dan membaca judul bercetak tebal; Kemesraan Evelyn Madini dan Sean Reviano.

Tanpa bisa melepaskan mata dari potret Sean di cover tabloid tersebut, Via pun membaca isi kontennya; menceritakan Sean dan Evelyn yang terlihat mesra bergandeng tangan sedang jalan berdua di sebuah taman, bahkan potret kemesraan keduanya terpampang jelas di setiap halaman. Sean yang menggenggam tangan Evelyn saat menyeberang jalan, Sean yang tersenyum mendengar Evelyn yang berbicara, Sean yang terlihat bahagia berdiri berdampingan dengan Evelyn.

Dimana pun Sean berada, Via dapat menggambarkan dengan jelas bagaimana manisnya senyum itu, bagaimana wajah Sean yang cerah ketika bahagia, atau matanya yang tersenyum saat mendengar lelucon lucu. Semua jelas terukir dalam ingatan Via yang tajam, tapi rasanya sakit sekali ketika semua itu tertuju pada wanita lain.

Air mata berkumpul di pelupuk mata, namun Via menolaknya jatuh. Dia masih tidak percaya Sean melupakannya tanpa menjelaskan apa-apa, namun bukti bahwa pria itu perlahan-lahan mengabaikan dan sengaja menghindar cukup membuat luka. Bahkan dia tidak bisa berlama-lama melihat Sean dengan wanita lain walau hanya melalui gambar di atas kertas.

“lihatlah, mereka sangat serasi,” ucap wanita yang tiba-tiba berdiri di sebelah.

Via hanya memasang wajah datar dan menaruh tabloid itu kembali ke tempat semula.

“Apa kau juga fans mereka?”

Kali ini Via menelan tangisnya yang hendak tumpah.

“Ah … itu … aku hanya sedang lihat-lihat,” jawab Via canggung.

“Tidak usah malu mengakui kau patah hati melihat CEO tampan dan kaya seperti itu akhirnya akan menikah. Aku juga merasa patah hati, begitu pula jutaan wanita di dunia. Pria single paling diidamkan akhirnya menemukan tambatan hati, betapa beruntungnya Evelyn.” Wanita itu tertawa sembari mengambil tabloid untuk dibawa ke kasir.

Via mematung di tempat sepeninggalan wanita tersebut. Menyadari bahwa selama ini tidak ada yang mengetahui kehadirannya dalam hidup Sean. Tidak sekali pun dia berada dalam satu frame dengan Sean Reviano.

wanita itu, bahwa sebelum Evelyn ada Via yang menghangatkan tempat tidur Sean Reviano, yang memasakkan makan malam kesukaan pria itu, yang menyiapkan stelan kerjanya setiap pagi, yang menyambutnya pulang dengan senyuman walau dalam keadaan lelah. Ada Via yang menemani Sean Reviano selama satu

Sean hanya menyembunyikan keberadaannya.

Dengan satu kesadaran pahit itu, Via melangkah pergi

…………………………………………………..

yang sulit dia terima disaat hubungannya dan Sean tanpa masa depan. Kalut dia memikirkan nasib bayi dalam kandungan, dan

kebingungan, Via menghubungi satu-satunya nomor yang menjadi

nada ceria seperti sambutan

itu mulai terdengar bingung ketika Via tak juga bersuara. “Via?” tanya

air mata Via jatuh membasahi pipi tanpa permisi hingga isakan

apa Via? Kenapa kau menangis? Cerita padaku,”

Aku hamil,” tangisnya

dari bibir Via. Termasuk suara statis dari sambungan yang menghubungkan pembicaraan, seolah ikut

Tangis itu semakin keras, tak membendung dan tanpa kontrol bagai raungan seorang wanita terluka. “Aku hamil.” Ulangnya lagi dan lagi seolah tidak ada pembendaharaan kata lain sebelum

 

itu semakin panjang, hingga membuat Disya ikut merasakan dalamnya

dari hidup Sean Reviano. Jauh dalam lubuk hati, Via dapat merasakan waktu itu akan segera tiba. Dia sangat takut menghadapi Sean yang murka, namun nuraninya lebih takut Sean memutuskan sepihak nasib bayi dalam kandungannya. Insting keibuan perlahan menyelimuti Via yang tidak mau menyerah. Benaknya membenarkan, tanpa Sean dia bisa membesarkan

kondisimu, Via,” saran

bisa,” 

padanya. Bila dia menolak, kita pikirkan

nomor yang diberikan Altha, bermaksud untuk menghubungi

akhirnya nurani lebih menang dibanding ketakutannya

nomor Sean

hanya terdengar nada dering panggilannya tersambung, tetapi kemudian terdengar penolakan yang semakin menyakitkan bagi Via, tetapi dia tidak menyerah. Ketika panggilan yang ke tiga tidak diterima, Via

The Novel will be updated daily. Come back and continue reading tomorrow, everyone!

Comments ()

0/255